Pages

Selasa, 25 Oktober 2011

Menggapai Mimpi – Pelajaran berharga dari Chris Gardner

Artikel ini ditulis untuk menggubah dan menggugah kembali impian anda yang sudah lama terpendam, dicuri, atau pun dihancurkan baik itu oleh waktu, oleh kenyataan, oleh dunia, oleh orang lain disekitar anda, atau pun oleh diri anda sendiri.
Ada satu film, judulnya “The Pursuit of Happyness”, atau “Mengejar Kebahagiaan!”

Film ini bercerita tentang perjua-ngan keras seorang penjual alat ronsen tulang dimasa krisis ekonomi Amerika yang sering dikenal sebagai “Great Depression”. Kisahnya dimulai dari saat dia menanamkan seluruh tabungannya kedalam bisnis ini.

Perjuangannya dimulai pada saat krisis ekonomi mulai menerpa Amerika, dimana alat ronsen tulang yang ia jual menjadi suatu kemewahan yang tidak terlalu penting. Hal ini mengakibatkan sulitnya mereka untuk bertahan hidup, dari hari ke hari. Istri dari penjual ini bekerja sebagai tukang cuci baju, dimana sang istri pun masih harus menjaga anak mereka yang notabene masih kecil.

Ada satu titik momen dalam hidup sang penjual ini, pada saat ia melewati jalan yang terkenal dengan nama Wall’s Street. Ia berpapasan dengan seorang stockbroker, dan ia mulai berpikir, “Kenapa mereka bisa terlihat begitu bahagia? Me-ngapa aku tidak bisa? Inikah takdir yang aku harus hadapi? Apa yang membedakan aku dengan mereka?”

Dari saat itu, ia bersikeras ingin merubah nasibnya, walaupun ia samasekali tidak memiliki pengetahuan mengenai saham dan pasar modal. Penjual ini pun menguta-rakan tujuannya kepada istrinya, hanya untuk mendapatkan penolakan dan “Stockbroker? Kenapa ngga jadi astronot aja sekalian?”

Disela-sela ia harus memenuhi kebutuhan keluarganya dengan menjual alat ronsen tulang itu, ia juga berusaha mendapatkan wawancara dengan satu stockbroking firm terkemuka di Amerika. Karena keadaan keuangan keluarga yang semakin menipis, dan kehidupan yang semakin sulit, konflik didalam rumah tangga nya pun meledak. Istri dari sang penjual ini pun pergi meninggalkan dia dan anaknya.

Goncangan demi goncangan terjadi, tanpa bisa menjual alat ronsen itu, mereka tidak bisa membayar uang sewa rumah, dimana sang penjual ini harus berpindah-pindah dari losmen satu ke losmen lainnya, dimana seringkali ia harus menghindari pemilik losmen yang selalu menagih hutang mereka.

Satu titik cerah bersinar, dimana akhirnya ia bisa mendapatkan program internship yang dia impikan. Hanya saja disertai dengan satu kekecewaan, bahwa ia diharuskan untuk belajar dan bekerja tanpa dibayar dalam masa internship-nya, bersaing dengan 50 orang lainnya yang memiliki latar belakang lebih berada dan memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dari dirinya, dimana hanya satu yang akan bisa mendapatkan posisi tetap di perusahaan itu.

Keadaan seperti ini membuat di-rinya terlibat dalam dilema, dimana ia harus bekerja di siang hari, dan menjual alat ronsen nya di sore hari untuk bertahan hidup, dan juga menjaga anaknya setiap harinya.

Masalah sepertinya tidak pernah berakhir untuk sang penjual ini, beberapa malam setelah ia mendapatkan internship itu, dia diusir dari kamar losmennya, karena ia tidak mampu membayar biaya penginapan disana. Malam itu, dia dan anaknya harus menginap di sebuah toilet umum di salah satu stasiun kereta. Melihat anaknya yang tertidur pulas dipangkuannya, dan pada saat pintu toilet itu mulai digedor-gedor oleh penjaga malam stasiun kereta, ia mena-ngis, dan dari saat itu juga batinnya berkata, “Sudah cukup, aku tidak akan membiarkan anakku tumbuh dewasa seperti ini.”

Hari demi hari pun berlalu, pe-ngalamannya bertambah, dan ia dengan rajinnya belajar dan be-kerja, hingga tiba saatnya untuk ujian akhir penerimaan pegawai tetap di perusahaan ini.

Suatu hari, ia berkata kepada anaknya, “Anakku, jangan pernah biarkan siapapun berkata bahwa kau tidak mampu melakukan se-suatu! Siapapun juga, termasuk orang tuamu! Kamu punya impian, dan kamu harus lindungi impian ini! Banyak orang diluar sana yang tidak bisa melakukan sesuatu, mereka akan berkata juga bahwa kamu tidak mampu melakukannya! Kalau kamu menginginkan sesuatu, kamu harus berjuang keras untuk mendapatkannya!”

Akhir kisah sang penjual ini, akhirnya ia berhasil mendapatkan posisi idamannya sebagai seorang stockbroker di perusahaan itu, dan ia terus berkembang, hingga akhirnya ia menjadi pendiri dari satu perusahaan keuangan yang besar di Amerika.

Sang penjual ini adalah Chris Gardner, pendiri dari Gardners Rich Investment.

Pada saat saya menyaksikan kisah ini, yang ada di pikiran saya hanya satu: Bila orang dengan latar belakang seperti itu, bisa sukses luar biasa, menggapai impiannya, apa yang membuat banyak orang de-ngan latar belakang yang jauh le-bih baik, saat ini, masih setia hidup didalam rantai perbudakan? Dimana anda harus terus bekerja setiap harinya, seumur hidup anda.

Apabila pembaca ingat, pada saat anda masih kecil dulu, dunia tampak indah, dan bila anda ingat2 lagi, impian kita bisa mencapai se-tinggi langit. Ingin memiliki rumah seperti istana, ingin berpergian keliling dunia, ingin bisa membawa orang2 yang kita kasihi menyaksikan indahnya dunia, ingin hidup tanpa harus memikirkan kebutuhan dan mempunyai kebebasan pilihan dalam hidup.
Impian itu baik adanya. Hingga ketika kita tumbuh dewasa, sadar atau tidak, impian itu mulai dihancurkan, dicuri, dan diinjak-injak. Ketika kita mulai di sekolah dasar, kita diajarkan bahwa manusia tidak bisa terbang, ketika kita di sekolah menengah, kita diajarkan untuk takut akan resiko, ketika kita masuk ke universitas, kita diajarkan bahwa untuk mendapatkan istana impian kita, diperlukan jumlah kekayaan yang sangat banyak, dan sangat tidak mungkin bagi kita untuk mendapatkannya.

Pada saat kita baru lulus, kita semua secara otomatis mencari kerjaan, lalu dengan kerjaan pertama kita, kita ditampar lebih keras lagi. Dengan gaji fresh graduate, rumah seperti apakah yang mampu kita beli? Belum ditambah dengan kenyataan bahwa kita harus terlibat hutang hingga puluhan tahunnya di Australia . Semua impian yang dulu indah adanya, hilang, sirna, dan lenyap ditelan kenya-taan kenyataan yang ada.

Sekali lagi, untuk kita bisa membahas lebih lanjut, anda harus bisa membayangkan, apakah impian anda?

Kenapa saya menekankan kea-daan ini kepada anda semua? Bukan maksud saya untuk saudara-saudari mulai hidup didalam dunia mimpi, tetapi mengapa kita tidak merubah cara pandang kita, dari cara pandang seorang gagal, menjadi cara pandang seorang yang sukses?

Kenapa hanya ada 5% dari penduduk dunia saat ini yang bisa dikatakan kaya, atau berkecukupan, dimana sisanya masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, atau malah mungkin bangkrut dan tinggal di pinggiran kota.

Yang membedakan antara orang sukses dan orang gagal adalah cara pandang, dan daya pikir mereka. Orang kaya memiliki impian yang besar, dan mereka menjadikan impian itu sebagai satu titik akhir tujuan mereka, dimana mereka menempatkan rencana dan goal untuk mencapainya. Orang gagal, hanya memikirkan apa yang mereka bisa dapatkan dari keadaan mereka yang sekarang, dan mereka hanya bisa memikirkan masalah masalah yang ada dihadapan mereka, sehingga impian mereka yang dulunya besar dan mulia, kandas dan hilang.
Sekarang pertanyaan saya, jadi siapa yang merebut mimpi orang2 yang gagal tadi? Jawabannya mudah, yaitu mereka membuang mimpinya sendiri, dengan dukungan dari orang-orang gagal lainnya.

Siapa kita, ditentukan dari komunitas dimana kita berada. Apabila kita banyak bergaul dengan orang-orang yang berpikiran besar, maka besarlah pikiran kita. Apabila kita banyak bergaul dengan orang-orang yang hanya bisa berkata, “ah buat apa? Itu tidaklah penting? Kamu tak mungkin bisa, tidak ada orang yang pernah melakukannya.” Maka kita akan berakhir juga seperti mereka.

Orang-orang kaya mengetahui dengan pasti, apa yang mereka lakukan setiap harinya, dan kenapa mereka melakukannya. Sekali lagi, apabila anda tidak tahu kenapa anda melakukan sesuatu, berarti sampai saat ini, anda sudah membuang waktu anda sia-sia.

Kenapa anda sekolah? Kenapa anda saat ini mempelajari bidang studi anda? Kenapa anda saat ini bekerja? Kenapa anda saat ini berolah-raga?
Coba tanyakan lagi pertanyaan kenapa ini kedalam diri anda, dan cobalah jujur menjawabnya. Apabila anda tidak bisa menjawabnya, berarti apapun yang sudah anda kerjakan sampai saat ini adalah sia-sia adanya. Banyak orang be-kerja keras dari jam 9 pagi hingga jam 5 sore setiap harinya, tanpa tujuan yang jelas. Percayalah, bahwa dalam jangka waktu 5 sampai 10 tahun mendatang, bilamana saya bertanya, mereka akan sadar dan berkata “Wah, benar juga, apa yang sudah saya capai dari masa kerja saya sekian lama?”

0 komentar:

Posting Komentar